Suara Anak Nagari, Sumatera Barat

Mari bangkit basamo dan berbuat yang terbaik untuk pemenuhan hak-hak masyarakat korban bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat, Anak Nagarilah ujung tombak perjuangan dan harapan rakyat ada dipundakmu...

The Great for Sumbar

Apo Kaba Dunsanak...???

Semoga blog ini dapat menjadi media untuk mengkomunikasikan kepada anda semua masyarakat Sumatera Barat, Indonesia dan Dunia Internasional, tentang realitas penangan kebencanaan Sumatera Barat, agar dapat menjadi bahan referensi bagi kita semua dalam menghadapi persoalan-persoalan kebencanaan di kemudian hari..

Kami berharap dapat menyajikan progress pembangunan karakter Anak Nagari Ranah Minang, bangkit mandiri untuk memperjuangkan hak-haknya..

Jumat, 05 November 2010

Perspektif Penanganan Bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat

Realitas Pemulihan Masyarakat Korban G 30 S 2009,
Sumatera Barat

Bencana gempa bumi, Rabu, 30 September 2009, telah mengakibatkan dampak kerusakan yang luar biasa besarnya bagi kehidupan masyarakat Sumatera Barat, yang berada di dua belas Kabupaten / Kota, yakni : Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kota Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Peseisir Selatan, Kabupaten Solok, Kota Solok, Kota Padang Panjang, Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kabupaten Kepulauan Mentawai, serta Kabupaten Tanah Datar.

Rencana aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi pascabencana Sumatera Barat,
ditetapkan pemerintah sejak 1 November 2009 sampai dengan tahun 2011, dengan perkiraan kebutuhan pembiayaan kegiatan tersebut adalah Rp 8.4 Triliun. Alokasi anggaran Rehab Rekon tahun 2009, sebesar Rp 313.9 Milyar, diarahkan sebagai Proyek Percontohan (Pilot Project).

Pelaksanaannya diarahkan pada empat sektor, yakni : sektor perumahan dengan alokasi anggaran Rp 115 Milyar dengan target 7.636 unit rumah rusak berat dan rumah rusak sedang, sektor ekonomi produktif dengan alokasi anggaran Rp 43.5 Milyar, sektor sosial dengan alokasi anggaran Rp 25.3 Milyar, serta sektor infrastruktur dengan alokasi anggaran RP 107.5 Milyar, serta dana pendampingan dialokasikan Rp 22.2 Milyar.

Seluruh Masyarakat korban dampak bencana gempa bumi Sumatera Barat, sangat mengharapkan akan segera terlaksananya agenda Rehab Rekon Tahap I tersebut dengan sukses, sehingga dapat menjadi acuan sukses pelaksanaan Rehab Rekon Tahap II dan Tahap III.

Namun, sangat disayangkan harapan masyarakat luas, para korban bencana tersebut, tidak sesuai dengan realita yang ada, olehkarena pelaksanaan Rehab Rekon khususnya sektor perumahan, baru dapat dilakukan pada Medio Juni 2010.

Jika kita menghitung dengan cermat, sejak 1 November 2009 sampai dengan 1 Juni
2010, ternyata ada rentang waktu 7 ( tujuh ) bulan lamanya, hingga 50% dari dana Rehab Rekon Tahap I (Pilot Project) tersebut dapat dirasakan oleh sebahagian kecil masyarakat korban dampak bencana gempa bumi Sumatera Barat, yang menjadi sasaran pelaksanaan Pilot Project tersebut.

Sungguh ironis, karena sampai hari ini progress fisik dari pelaksanaan Rehab Rekon Sumatera Barat tersebut, masih hanya sekitar 31%, sementara penyerapan danya masih hanya sekitar 23,4% dari total jumlah dana Tahap I Rp 313.9 Milyar, atau masih hanya sekitar Rp 73.4 Milyar.

Merupakan progress yang sangat lamban sekali, apabila kita bandingan dengan
waktu pelaknsaan yang sudah akan memasuki bulan ke delapan dan lamanya dana
tersebut mengendap di Bank sejak dikucurkannya pada bulan Desember 2009 lalu.

Merujuk pada keprihatinan akan kondisi yang demikian lambannya pelaksanaan Rehab Rekon tersebut, pemerintah menyalurkan bantuan yang menjadi hak-hak masyarakat korban dampak bencana tersebut, rasanya wajar kalau kita mempertanyakan begitu banyak pertanyaan, bahkan mempertanyakan keseriusan dan keprofesinalismean pemerintah dalam mengelola pelaksanaan Rehab Rekon Sumatera Barat.

Kalau hanya untuk mengelola dan melaksanakan agenda Rehab Rekon Tahap I, yang
masih demikian kecilnya alokasi anggaran dan kelompok sasaran dimaksud,
pemerintah sangat lamban dan terkesan tidak mampu, pertanyaannya : Bagaimanakah selanjutnya nasib agenda Rehab Rekon Tahap II dan Tahap III ?? Serta, bagaimana pula nasib rakyat para korban bencana gempa bumi Sumatera Barat ini ??

Seharusnya, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, dapat bersikap lebih jujur melakukan introspeksi terhadap berbagai penyebab kelambanan pelaksanaan proses tersebut, serta mau mendengarkan harapan-harapan masyarakat korban dampak bencana, serta seruan-seruan dari berbagai kalangan masyarakat luas yang sudah berulang kali menegur prihal kelambanan proses pelaksanaan Rehab Rekon ini.

Sebab, pemerintah telah meluncurkan dana Rehab Rekon Sumatera Barat Jilid II dalam APBN Tahun 2010 melalui DIPA BNPB, sebesar Rp 2.4 Trilyun, dengan menargetkan Rehab Rekon sektor perumahan Rp 1.9 Trilyun untuk 143.270 unit Rumah rusak berat dan rumah rusak sedang, sementara Rp 478.7 Milyar diarahkan untuk sektor infrastruktur, gedung pemerintah, dan lintas sektoral, serta Rp 83.9 Milyar untuk dana pendampingan.

Sementara untuk tahun 2011 yang akan datang, pemerintah telah mengalokasikan perkiraan biaya Rehab Rekon Sumatera Barat, sebesar Rp 3.624 Triliun, dengan rincian : sektor perumahan akan dialokasikan sebesar Rp 1.255 Triliun untuk 31.152 unit rumah rusak berat dan rumah rusak sedang, sektor infrastruktur sebesar Rp 1.091 Triliun, sektor Sosial sebesar Rp 1.242 Triliun, dan untuk sektor Ekonomi Produktif sebesar Rp 145.8 Miliar.

Masyarakat korban bencana Sumatera Barat, sungguh-sungguh tak mampu menjangkau
cara dan gaya berfikir para birokrat Republik Indonesia sekarang ini, ibarat
kata pepatah : ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula sudah sakit teraniaya pula’, artinya : sudah masyarakat terkena bencana, bantuan yang diprogramkanpun berjilid-jilid layaknya sinetron, lebih parah lagi pengucurannya sangat lamban.

With Love,
Anthony E S


Refleksi Akhir bulan Juni 2010

Rabu, 03 November 2010

"Saripah -- Saripah" Pejuang

Mother how are you today

Mother how are you today, melantun dengan syahdunya, membuat aku teringat akan pertemuanku dengan seorang ibu, di sebuah Bank Pemerintah, yang berada di ibu kota Kabupaten Padang Pariaman, ibu itu bernama Saripah.

Dengan sangat jelas aku mengingat dan melafalkan nama beliau, walaupun pertemuan telah terjadi dua hari yang lalu. Mungkin itu biasa terjadi, karena pada pagi yang cerah itu, aku dan kedua temanku, pergi ke Bank milik Pemerintah tersebut untuk mengambil ATM kami yang
dijanjikan pada hari tersebut sudah selesai, namun kenyataannya belum selesai juga.

Sehingga kami harus antri untuk mengambil gaji / honor kami, secara manual ke kasir Bank tersebut. Pada saat itu, Ibu Saripah yang juga sedang gelisah menunggu nomor antriannya, tiba-tiba saja duduk tepat didepanku, aku melihat ada kegusaran yang tak biasa, yang tak dapat disembunyikan oleh ibu tersebut, sehingga memaksa aku untuk memulai perbincangan dengan ibu tersebut. Ada kerapuhan kebatinan tersirat di wajahnya, walaupun ia berusaha menunjukkan sikap ketegeran, untuk menutupi semuanya.

Setelah aku mulai bertanya-tanya akhirnya ibu itupun menceritakan tentang dirinya, kehidupannya, dan masalah yang sedang ia alami saat ini. Ibu Saripah, adalah janda satu anak, yang ditinggal oleh sang suami yang melarikan diri dari tanggung jawabnya, sebagai seorang suami dari isterinya dan sebagai seorang ayah dari anaknya, terlebih sebagai seorang imam yang membimbing spiritualitas setiap keluarganya. Rival, demikian ia memanggil anak laki-laki semata wayangnya, buah cintanya dengan seorang lelaki yang pernah begitu menyanginya, Rival kini duduk di kelas satu sekolah dasar.

Rival dibesarkan seorang diri oleh ibunya yang tegar itu, sejak umur dua tahun sudah ditinggal pergi tanpa pernah merasakan kasih sayang seorang ayah lagi. Penduduk pasar Padang Alai ini, ternyata masih tinggal ditenda hingga hari ini, di tenda tersebut ia dan anaknya tinggal dan membuat jualan kecil-kecilan, untuk dapat berjuang hidup. Pada saat terjadinya gempa September 2009 lalu, rumahnya hancur termasuk segala prabot dan isi rumah lainnya, karena rumahnya rubuh kearah dalam. Oleh karenanya, beliau harus membenahi dan melengkapi kembali segala perkakas dan kebutuhan lainnya, karena tak satupun benda dirumahnya yang telah runtuh tersebut dapat dipergunakan lagi.

Semula beliau membuka rekening di Bank tersebut, dengan tujuan menabung sedikit-sedikit dan juga untuk memudahkan sanak familinya yang ada dirantau kalau ada yang mau mengirim uang, untuk membantu kehidupan mereka. Melalui rekening tersebut, beliau sering mendapatkan bantuan uang dari Kakaknya yang berada di Jakarta, sejak keadaan mereka yang menjadi korban bencana gempa bumi sampai ke Jakarta. Namun, karena begitu banyaknya hal-hal yang harus dipenuhi pasca gempa bumi yang melanda mereka, seperti membeli peralatan rumah tangga seadanya, membiayai kebutuhan hidup
mereka berdua, membeli baju dan perlengkapan sekolah anaknya yang rusak akibat gempa, serta untuk modal usaha kecil mereka, dan keperluan lainnya, maka uangnya yang ada di rekening Bank tersebut sudah habis, hanya tersisa kurang dari seratus ribu rupiah.

Lantas aku bertanya pada beliau, kalau uangnya hanya tersisa seratus ribu rupiah lagi, tujuan ibu saat ini untuk apa ??? Apakah untuk mengambil kirman ??? Ibu Saripah menjelaskan, bahwa beliau ingin mengambil semua uangnya yang masih ada di rekeningnya dan menutup rekening tersebut, dimana uang tersebut akan beliau pergunakan untuk membeli kompor minyak tanah, menggantikan kompornya yang sudah rusak.

Akupun bertanya lagi, jadi kalau kakak anda yang berada di Jakarta hendak mengirim uang, kemana akan dikirimkan ??? Ibu tersebut menjawab dengan sangat sederhana : “Ya, ntar kalo kakak saya mau ngirimin uang biar lewat rekening tetangga saja, karena kompor ini sudah sangat mendesak sekali, kalo gak ada kompor beko ( nanti ) kami tidak bisa masak, lagian nabung di Bank ini sangat tidak sesuai bagi orang kecil seperti kami ini pak. Paling uangnya cuman ratusan ribu saja, sementara potongannya besar, ya akhirnya uang yang saya simpan lebih banyak kena potongan Bank”.

Bak tersayat sembilu rasanya batin ini mendengar penuturan ibu Saripah yang begitu sederhananya mengungkapkan tujuan dan alasan yang secara logika sederhana saja itu sangat masuk akal. Rambut yang dikepang dua, dengan pakaian sederhana dan tutur kata yang sangat sederhana, namun memiliki semangat perjuangan untuk melanjutkan kehidupan ini, pesan tersebut sangatlah kuat bagiku. Ditengah keterhimpitan ekonomi dan penanganan terhadap musibah bencana yang menghampirinya tidak kunjung mendapat perhatian serius dari pemerintah, ibu Saripah masih tetap memancarkan semangat perjuangan hidup yang kuat, tidak mudah menyerah dan tidak mudah meminta belas kasihan pada orang lain.

Kiranya itulah makna yang dapat kita petik dari sosok pejuang kehidupan yang masih mampu bertahan dalam kuatnya pusaran tekanan untuk tetap bertahan hidup, ditengah situasi yang dilanda bencana. Saya yakin dan percaya, ada begitu banyak Saripah-Saripah lainnya ditengah-tengah masyarakat korban bencana Sumatera Barat saat ini, yang sangat membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, khususnya pemerintah. Karena pemerintah, bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan dan penghidupan seluruh Warga Negara Indonesia, termasuk dalam keadaan bencana, sesuai dengan amanat UUD 1945 Republik Indonesia.

With Love,
Anthony E S

Ditulis, Akhir bulan Februari 2010

Raso dan Pareso

Raso dan Pareso
Bagaimana cara memahami ungkapan ??


Raso dan Pareso, secara harfiah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan dengan Rasa dan Periksa, merupakan satu dari sekian banyak pepatah atau petuah dalam adat budaya masyarakat Minangkabau. Kira-kira bermakna “harus ada rasa untuk dapat saling merasakan, apa yang dirasakan orang lain dan saling menghormati perasaan tersebut”. Lebih jelasnya, ada rasa untuk saling menghargai diantara sesama kita dalam kehidupan yang berdamping-dampingaan dalam bermasyarakat.

Yang menjadi kurang atau keliru maknanya saat ini dalam kehidupan bermasyarakat di Minang, lebih disebabkan pernyataan dari para tetua atau kelompok yang dituakan secara adat dimasyarakat, menyatakan : “Kalo kita mengungkit-ungkit kesalahan, masalah, ataupun borok dari orang lain, dalam hal dimaksud pemimpin ditengah masyarakat, coba rasakan juga seandainya saja kita berada dalam posisi yang sebaliknya”.

Secara eksplisit pemaknaan tersebut, akan dengan serta merta mengalihkan atau membuat keliru pemahaman setiap orang yang walaupun sudah mengetahui hak-haknya dizholimi oleh pemimpinnya, harus memilih diam dan membiarkan hal tersebut tetap terjadi, atau lebih parehnya lagi melemahkan kekuatan gerakan masyarakat yang ingin hidup dalam kecerdasan berpikir, serta kemandirian dalam memperjuangkan setiap hak yang melekat padanya.

Ada pepatah Minangkabau yang sangat baik, namun tidak pernah diaktualisasikan dalam makna yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat Minangkabu itu sendiri. Atau, boleh dikatakan hanya sekedar pepatah, tapi tak pernah diterapkan / dimaknai dalam arti sesungguhnya, dikeseharian masyarakat Minangkabau. “Tibo di Paruik di kampiskan, Tibo dimata dipicingkan”, yang bermakna : kalau memang suatu kesalahan tersebut terjadi pada keluarga atau bahkan diri pribadi kita sendiri, maka kita seharusnya tidak membelanya tapi bahkan menyatakan kebenaran yang sesungguhnya.

Pepatah tersebut, sejatinya hendak menyatakan kepada setiap orang dan terlebih pada setiap kepemimpinan, agar memiliki sikap yang bertanggung jawab dalam menyatakan suatu kebenaran, sebagai yang benar atau sesuai kenyataannya dan menyatakan suatu kesalahan sebagai sesuatu yang salah sesuai dengan kenyataannya, sekalipun hal tersebut menimpa sanak keluarga bahkan diri pribadi kita sendiri.

Fenomena yang bertolak belakang dengan kepribadian masyarakat Minang Kabau, yang terkenal kaya dengan ungkapan-ungkapan bermakna dalam mengatur hubungan antar sesama manusia agar harmonis, sangat kontras terjadi ditengah kehidupan masyarakat Minang Kabau saat ini. Dimana, para pemimpin masyarakat dalam setiap jenjang kepemimpinan, sudah tidak lagi mencerminkan sikap-sikap seperti yang dimaksud dalam
ungkapan-ungkapan tersebut, meskipun sekarang ini mereka sedang berada dalam kondisi bencana.

Buktinya saja, para pemimpin tersebut tidak mengedapankan hal-hal yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat, ataupun mempercepat proses pemulihan kehidupan masyarakatnya. Tetapi malah, tak sedikit dari mereka yang mengambil kesempatan dalam upaya memperkaya diri sendiri maupun anggota keluarga yang masih erat hubungannya dengan dirinya. Tak sedikit pula yang dengan tega hati memberikan tekanan bagi masyarakat yang menyuarakan kebutuhannya, maupun dugaan penyimpangan yang sedang terjadi.

Yang terparah adalah usaha-usaha untuk memperbesar pembodohan masyarakatnya, dengan tidak meluaskan informasi yang sebenar-benarnya tentang penanganan dampak bencana kepada masyarakatnya. Tidak memperjuangkan apa yang menjadi kesulitan dan masalah masyarakat yang sedang ditimpa musibah, tetapi bahkan dengan tanpa rasa bersalah
mengamini dan menginstruksikan pemberlakukan biaya administrative pencairan dana bantuan gempa bumi sektor perumahan dengan mematok besaran biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakatnya, agar masyarakat dapat menerima pencairan dana tersebut.

Mari kita berandai-andai, andaikata memang biaya administrative
pencairan dana tersebut tidak diberikan oleh pemerintah, maka sebagai pemimpin yang baik bagi masyarakatnya, seharusnya mereka memperjuangkan apa dan bagaimanapun caranya agar masyarakat tidak terbebani oleh keperluan administrative.

Seharusnya, secara logis para pemimpin tersebut juga dapat dengan pasti mengetahui dan menakar realistis tidaknya besaran dana bantuan perumahan yang diberikan oleh
pemerintah tersebut kepada masyarakatnya. Diatas itu semua, jika mereka memang para pemimpin yang amanah untuk mensejahterakan rakyatnya, maka mereka juga harus berjuang bersama masyarakatnya yang menjadi korban bencana, karena mereka juga korban sejatinya, agar pencairan dan bantuan perumahan tersebut tidak merumitkan bagi masyarakat.

Bisa sajakan, mereka berjuang bersama-sama menyatakan, layak tidaknya besaran bantuan yang akan diberikan, lalu kenapa rumah masyarakat yang sudah jelas-jelas rusak dan bahakan tidak sedikit yang rubuh akibat gempa, tetapi harus melalui banyak persyaratan administrative untuk memperolehnya, sangat ironis bagi siapapun yang mendengarnya. Apa yang harus dikhawatirkan, jika mereka memang berjuang untuk rakyat, atau para pemimpin kita saat ini tidak punya kapasitas untuk hal tersebut?

Ataukah mereka juga, sudah melupakan ungkapan yang satu ini… “Kusut ka salasai, karuah ka janiah”, bermakna : walau bagaimanapun kusutnya suatu permasalahan pasti akan selesai juga, bagaimanapun keruhnya suatu keadaan pastinya akan jernih juga. Sesulit apapun suatu permasalahan itu, pasti bakal selesai juga, sehingga tidak perlu merasa takut untuk mencoba mengatasinya.

Bila kita maknai dalam konteks sikap pemimpin yang berjuang sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya yang sedang tertimpa musibah bencana dan belum sepenuhnya mampu untuk bangkit dari keterpurukan itu, tidak perlu khawatir jika mereka bersama rakyat memperjuangkan kebutuhan rakyatnya terhadap besaran dan kecepatan bantuan bencana dapat dirasakan oleh masyarakat, menimbulakan kekeruhan seluruh sistem
pemerintahan, nantinya akan kembali jernih jua.

Sejatinya, semua pribahasa masyarakat Minangkabau itu sangatlah baik sekali, jika mau mengimplemntasikannya dengan kearifan bersama masyarakat seluruhnya, tapai di zaman manusia dan demikian pesatnya perkembangan Iptek saat ini, hal tersebut semakin mengalami keterbelakangan.

Pertanyaannya sekarang ini, cerdasan mana sih sebenarnya, manusia di zaman pendahulu kita ketika mereka menghasilkan petuah dari masalah yang mereka hadapi pada ketika itu, atau di zaman kita sekarang ini yang tidak bisa berbuat sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh pepatah tersebut.

Namun yang pasti, gambaran sikap dan watak manusia pada zaman dahulu dalam memenuhi kebutuhan, serta paradigma terhadap kekuasaan adalah untuk mencerdaskan kehidupan masyarakatnya. Jelas berbeda dengan orientasi manusia kita zaman sekarang ini lebih pada kekuasaan dan kehormatan belaka, serta hasrat untuk memperkaya pribadi dan keluarga sendiri tak lagi terbendung. Hal tersebut ditunjukkan dari prinsip manusia
kita saat ini yang mengidentikkan harta kekayaan dengan kehormatan seseorang.

Demikianlah sebaliknya, bila dengan cermat kita menyimak setiap rakyat biasa mencoba untuk mengungkapkan persolan dan ide pemahamannya, dengan mudah akan diserang dengan penrnyataan : “Belum apa2 sudah sok hebat, dan sudah bisa ngomong sejauh itu”, atau bahkan jika banyak mencari dan memberikan informasi ke masyarakat lainnya, setiap masyarakat cerdas itu akan dianggap gila, bahkan diintimidasi dengan
berbagai cara.

Mari kita berpikiran maju, dengan tidak meninggalkan budaya terbaik yang kita miliki, untuk membangun kembali kekuatan masyarakat yang sejati, sebagai penentu setiap arah dan kebijakan yang menyangkut kehidupan kita sebagai rakyat.

With Love,
Anthony E S

Tsunami Hancurkan Mentawai

Tsunami Hancurkan Mentawai
Akankah penanganannya akan lebih baik dari pengalaman tsunami sebelumnya..???


Berita duka mendalam datang dari Kepulauan Mentawai, gempa tektonik yang berada 78 Kilometer disebelah Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, telah mengakibatkan air bah menyapu daratan kepulauan yang terkenal keindahan panorama baharinya tersebut. Namun, penanganan terkesan lamban dan isu bencananya kalah tenar dengan Merapi di Pulau Jawa, mengakibatkan banyak nyawa berjatuhan karena terlambat mendapat pertolongan.

Keterbatasan alat transportasi dan cuaca yang tidak menentu selalu menjadi alasan pembenaran, bantuan dan relawan menumpuk di Sikakap. Menimbulkan sebuah pertanyaan besar bagi bangsa ini, apakah Negara yang besar ini tidak memiliki sumber daya yang mampu menembus ombak dan badai demi menyalurkan kebutuhan rakyatnya yang sedang ditimpa musibah…??? Mengapa pula strategi penanganannya cenderung diskriminatif dengan penanganan bencana Merapi di Pulau Jawa…??? Sehingga selalu melandaskan alasan keterbatasan penyaluran bantuan kemanusiaan ke wilayah yang menjadi bumpernya Pulau Sumatera tersebut, pada situasi dan kondisi badai, ombak, serta hujan…

Kepulauan Mentawai terletak disebelah barat pantai barat Sumatera, gugusan pulau-pulaunya tersusun berjejer berada diantara Selat Mentawai yang memisahkannya dengan Pulau Sumatera, atau yang secara administrative dengan Provinsi Sumatera Barat, dan menghadap ke Samudera Hindia. Letak geografis Kepulauan Mentawai ini, menjadikannya kepulauan yang memiliki sejuta pesona keindahan dan kedahsyatan ombaknya telah menobatkannya menjadi terbaik ketiga dunia yang memiliki ombak terindah dan menjadi daerah tujuan para peselancar professional kelas dunia untuk berselancar.

Tapi semua itu tinggal kenangan, karena pasca gempa berkekuatan 7,2 Skalarichter dan diikuti tsunami yang terjadi pada hari, Senin, 25 Oktober 2010, sekira pukul, 22.42 WIB, telah memporak-porandakan sebagian besar daratan Pagai Selatan dan Pagai Utara di kepulauan tersebut. Banyak nyawa berjatuhan, luka-luka, maupun kehilangan tempat tinggal, demikian juga halnya dengan korban selamat yang mengalami trauma mendalam.

Negara yang besar ini juga tidak mampu meminamilisir korban yang berjatuhan, hal tersebut diakibatkan tidak berfungsinya alat pendeteksi tsunami ( Early Warning System ) yang telah dibangun oleh pemerintah hasil donasi dari 5 Negara besar di Kepulauan Mentawai. Ironis sekali, ketika bencana tsunami tersebut belum menggulung daratan mentawai tersebut, alat yang diperkenalkan dengan kecanggihan dan berbiaya mahal itu, selalu dibangga-banggakan tanpa pernah dilakukan uji coba- uji coba, serta perawatan yang memadai, guna menjamin fungsi kerja alat tersebut.

Bencana yang sudah diprediksi oleh banyak pakar gempa jauh hari sebelum bencana yang sangat tidak diinginkan tersebut terjadi, telah mengakibatkan 427 nyawa melayang, 96 orang hilang, 70 orang luka berat (banyak juga korban luka berat yang terlambat mendapat pertolongan medis dan akhirnya meninggal dunia), 142 orang luka ringan, dan rumah yang rusak berat sebanyak 517 unit, serta 204 unit rusak ringan. Keterbatasan bantuan tenaga medis dan peralatan medis yang memadai untuk membantu
menolong penderitaan korban disana, harus menjadi konsentrasi serius dari semua pihak, utamanyaPemerintah Republik ini.

Layanan kesehatan, gizi, pangan, pakaian, tempat tinggal, air bersih, serta sanitasi lingkungan pengungsi, juga harus segera di fasilitasi oleh pemerintah dan melibatkan semua pihak, baik dalam maupun luar negeri, agar masyarakat korban bencana yang di prediksi 4000 orang berada dipenggungsian saat ini, terhindar
dari serangan penyakit yang sangat mungkin timbul akibat kondisi yang sangat memprihatinkan di tempat-tempat pengungsian dan berada ratusan kilometer ditengah lautan lepas.

Seiring dengan prediksi bencana gempa dengan kekuatan yang lebih besar, yang akan melanda sekitaran Pulau Siberut, yang telah dinyatakan oleh peneliti-peneliti kegempaan yang berkompeten, berdasarkan data statistic kependudukannya, total Jumlah Penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai, berjumlah 76.421 Jiwa, dengan rincian sebagai berikut :
1. Pagai Selatan : 8.871 Jiwa,
2. Sikakap : 9.550 Jiwa,
3. Pagai Utara : 5.132 Jiwa,
4. Sipora Selatan : 8.549 Jiwa,
5. Sipora Utara : 9.238 Jiwa,
6. Siberut Selatan : 8.475 Jiwa,
7. Siberut Barat Daya : 6.080 Jiwa,
8. Siberut Tengah : 7.794 Jiwa,
9. Siberut Utara : 7.794 Jiwa,
10. Siberut Barat : 6.751 Jiwa.
pemerintah harus memberikan perhatian lebih serius terhadap nasib ribuan masyarakat yang saat ini hidup dalam bayang-bayang bencana tersebut.

Masyarakat diwilayah tersebut kini terpaksa harus mengungsi setiap malamnya kedaerah yang lebih tinggi, ditempat para pengungsian masyarakat yang menjadi korban bencana tsunami 25 Oktober 2010 lalu itu, yang mengakibatkan mereka saat ini
hanya beraktifitas pada siang hari di rumah mereka. Banyak langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah, dengan menggunakan segala sumber daya yang dimiliki oleh Negara ini, yang diharapkan dapat memberikan jaminan keselamatan bagi
masyarakat mentawai, khususnya yang berada di zona merah bencana.

Jika kondisi seperti demikian dibiarkan terus berlanjut, akan berdampak pada korban jiwa yang mungkin dapat jatuh lebih banyak lagi saat bencana datang menerjang, maupun akibat dari kesehatan masyarakat yang terganggu akibat tidak memadainya fasilitas kesehatan dan sanitasi lingkungan pengungsian yang tidak sehat.
Sesuai pemantuan dari team KOTIB yang telah berada posko utama di Sikakap, Mentawai, sejak hari, Jum’at, 29 Oktober 2010, terdapat beberapa hal yang menjadi hasil identifikasi awal situasi, kondisi, dan permasalahan penanganan dalam masa tanggap darurat ini, antara lain :
1. Hujan dan Badai, menjadi penghalang dalam penyaluran bantuan kemanusiaan ke pulau-pulau kecil yang menjadi dampak terparah tsunami,
2. Hanya mengandalkan alat transportasi laut, mengakibatkan bantuan terlambat tersalurkan dan menumpuk di Sikakap, tanpa pernah mencoba jalur-jalur darat yang medannya dikenal sulit juga,
3. Tidak ada tempat tinggal yang memadai dilokasi bencana, mengakibatkan korban bencana tinggal di bawah tenda yang tidak memadai, karena angin laut yang kencang dan hujan deras yang terjadi terus-menerus sepanjang waktu ini,
4. Tidak adanya relawan yang stay di daerah pulau-pulau yang menjadi dampak terparah, akibatnya relawan menumpuk di Sikakap dan tak mampu memberikan peran yang maksimal kepada masyarakat korban bencana, diakibatkan para relawan selalu pergi di pagi hari dan menjelang sore harinya akan segera kembali lagi ke Sikakap.

Masyarakat yang saat ini mengalami trauma yang mendalam atas situasi yang menimpanya, sangat membutuhkan banyaknya relawan-relawan psikolog untuk memberikan penguatan dan membantu masyarakat dari penderitaan psikis yang dialaminya. Demikian juga halnya dengan tenaga kesehatan dan fasilitas-fasilitas kesehatan, serta obat-obatan yang memadai bagi pemulihan kesehatan korban becana tsunami tersebut. Diluar kedua hal tersebut, masyarakat korban saat ini juga sangat membutuhkan :
1. Susu dan Nutrisi bayi,
2. Pakaian dan Selimut,
3. Tenda, atau akan lebih baik lagi bagi kesehatan masyarakat korban bencana, jika mereka segera kembali kerumah, ataupun setidak-tidaknya hunian sementara yang lebih layak untuk kesehatan mereka, karena kencangnya angin laut.
4. Alat transportasi yang sangat memadai.
Baiknyalah kita tidak mengeluarkan air mata ‘buaya’ saat bencana telah menghantam, seperti yang ditunjukkan oleh para pemimpin negeri ini, tapi baiklah kita melakukan refleksi terhadap tanggung jawab yang harus dilakukan secara konstrukstif sebelum bencana terjadi, sehingga dapat meminamilisir dampak dari bencana. Keasadaran ini harus disebarluaskan kepada setiap masyarakat kita, khususnya yang mendiami daerah-daerah yang rawan benacana gempa bumi, tsunami dan merapi, juga seluruh masyarakat Indonesia agar menerapkan pola hidup yang mencerminkan kearifan dalam menjaga keseimbangan hidup antara manusia dan alam.

With Love,
Anthony E S


Untuk korban becana tsunami Mentawai.

Hak masyarakat, Tapi Kok Sulit Diperoleh..???

Setahun Masa Rehab Rekon Sumatera Barat,
1 November 2009 – 1 November 2010
Hak masyarakat, Tapi Kok Sulit Diperoleh..???


Lebih dari 90 % masyarakat Korban Bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat, belum menerima dana rehab rekon sektor perumahan, hampir setahun dana mengendap di rekening BNPB. Sesungguhnya besaran dana yang hendak diterima tidak sebanding dengan kehancuran rumah mereka, tapi masyarakat korban dipaksa setia menunggu pengucurannya. Ironisnya, masyarakat dibebani biaya administrasi pencairan haknya tersebut, realita dilapangan sudah ditarif besarannya.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, melalui Keputusan Gubernur waktu itu Gamawan Fauzi, menyatakan masa tanggap darurat yang berlangsung selama satu bulan berakhir pertanggal 31 Oktober 2009, selanjutnya terhitung sejak 1 November 2009 sampai dua tahun kedepan ditetapkan memasuki masa Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumatera Barat.
Menjadi catatan penting bagi semua pihak, bahwa status kebencanaan G 30 September 2009 Sumatera Barat, ditetapkan Pemerintah sebagai bencana Daerah ( Provinsi ).

Jika merujuk pada amanat UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanganan Bencana, Bab IV Kelembagaan, Bagian Kedua, Pasal 18 sampai dengan Pasal 25, yang mengatur mengenai pelaksana penanganan bencana dan pendanaannya, seharusnya kegiatan pemulihan dampak bencana menjadi tanggung jawab penuh dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Sementara Pemerintah Pusat, sifatnya hanya membantu dari sisi pendanaan jika daerah tersebut mengalami kekurangan anggaran untuk membiayai kegiatan tersebut.

Sangat disayangkan Pemerintah tidak memberikan parameter yang jelas dalam menetapkan status bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat tersebut, sementara untuk pendanaan segala kegiatan rehab rekon disemua sektor menjadi beban dalam APBN, kecuali untuk pembiayaan rumah rusak ringan yang dipaksa untuk dibebankan kedalam APBD Kabupaten / Kota masing-masing. Sehingga tak ada satupun pos anggaran kegiatan rehab rekon ini yang dibebankan pada APBD Provinsi Sumatera Barat, lantas mengapa statusnya bencana daerah / provinsi, diamana relevansinya…???
Demikian juga halnya dengan penetapan angka Rp 15 Juta untuk setiap rumah rusak berat dan Rp 10 Juta untuk setiap rumah rusak sedang, yang dilakukan oleh Pemerintah tanpa parameter yang jelas, dengan angka yang begitu minim tersebut, masyarakat yang menerima dana tersebut juga dipaksa untuk membangun rumah yang tahan gempa.

Lebih menggelikan lagi, Pemerintah Pusat menunjuk Tim Pendukung Teknis Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( TPT – BNPB ), yang bertugas untuk :
1. Merumuskan Strategi dan Kebijakan Operasional rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana,
2. Menyusun secara rinci langkah-langkah percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca benca,
3. Membantu mengkoordinasikan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai kebijakan umum rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

Maka yang terjadi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat hanya sebagai eksekutor atau pelaksana dari setiap produk kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dihasilkan oleh TPT – BNPB di Sumatera Barat tersebut. Fenomena bangunan kebijakan yang sangat rumit, bahkan menimbulkan berbagai persoalan-persoalan baru dan kelambanan berjalannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi Sumatera Barat, ternyata juga membuat Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten / Kota masing-masing kelimpungan memenuhi tuntutan dari kebijakan tersebut dalam berbagai hal, terutama dalam hal pengorganisasian pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Bangunan kebijakan tersebut diciptakan sedemikian rupa, sistemis sekali dengan dalih tuntutan dari aturan keuangan Negara dan ketakutan pada KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ), seolah mengamini kelambanan proses tersebut bukanlah sesuatu yang harus dipersoalkan, seperti yang selalu dinyatakan oleh pihak TPT – BNPB dan Pemerintah Provinsi. Mengakibatkan setiap masyarakat korban bencana, dipaksa harus sabar menunggu dan juga harus memenuhi semua peraturan yang ada.

Demikian juga halnya dengan masyarakat korban bencana yang rumahnya sudah nyata-nyata roboh sekalipun, mereka harus melengkapi urusan surat-menyurat dan berPokmas-Pokmas ( Kelompok Masyarakat ), yang membuka ruang bagi oknum-oknum aparatur pemerintahan ditingkatan lokal untuk “bermain-main”. Melakukan pungutan-pungutan liar, ditengah keterbatasan informasi yang diterima masyarakat terkait proses pemenuhan administrasi pencairan dana rehab rekon yang harus mereka penuhi, menakut-nakuti dan bahkan membodohi masyarakatnya sendiri.

Realitanya, ditengah himpitan ekonomi masyarakat yang belum pulih akibat bencana dan krisis multidimensi sekarang ini, para korban bencana dituntut untuk memenuhi administrasi pencairan dana, agar dana yang menjadi hak masyarakat korban bencana itu dapat diperoleh. Pemerintah berulang kali menyatakan tidak ada pemotongan satu rupiahpun, namun nyatanya masyarakat harus membayar biaya untuk pemenuhan administrasi-administrasi, yang sudah dibuat tariffnya sedemikian rupa (berkisar antara Rp 100.000,- sampai Rp 200.000,-) oleh pihak-pihak yang secara teknis bertugas dilapangan, sebutkan saja mulai dari oknum wali korong, nagari, kecamatan dan fasilitator kelompok yang dterjunkan oleh pemerintah ke masyarakat (Fasilitator Kelompok ini sudah bergaji Rp 2.500.000,- setiap bulannya). Adapun dalih dari pihak-pihak tersebut, pemerintah tidak menyediakan berbagai keperluan untuk pemenuhan administrasi, seperti : computer dan printer untuk pengolahan data, kertas, materai, serta biaya-biaya teknis lainnya.

Sesungguhnya kembali kerumah seperti sediakala dan membangun kembali perekonomian keluarga yang sudah hancur, merupakan cita-cita terbesar dari setiap masyarakat korban bencana, sangatlah naïf jika mencurigai kesadaran masyarakat korban bencana akan pemanfaatan dana rehab rekon sektor perumahan kearah yang negative. Dana rehab rekon perumahan itu, sejatinya hak mutlak warga Negara yang ditimpa bencana dan harus dipenuhi oleh Negara ini. Tak lama lagi, masyarakat korban bencana akan mencapai titik jenuhnya juga, karena dana yang sangat mereka harap-harapkan dapat membantu mengembalikan mereka kerumah layak huni, tak kunjung datang.

Masyarakat yang telah sadar akan menuntut pada Negara untuk segara bertindak dan memperbaiki sistem penanganan bencana bangsa ini, agar masyarakat dapat benar-benar merasakan peran Negara yang melindungi dan mengedepankan kepentingan seluruh warganya, khusunya dalam kondisi bencana. Masyarakat akan mencatat dengan sangat baik, bagaimana Negara ini mengelola kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya ???

Untuk realita penderitaan masyarakat korban bencana G 30 S 2009 Sumatera Barat yang tercinta, memaksa pemerintah untuk segera mencairkan dana rehab rekon perumahan mereka.

With Love,
Anthony E S

Hak masyarakat, Tapi Kok Sulit Diperoleh..???